Cerita anak ini dimulai di sebuah rumah kumuh di tepi Sungai Ciliwung...
Tok! Tok! Tok! “Cil, buruan mandinya! Kakak udah terlambat, nih!” Terdengar suara Hasan, abangku, mengetuk pintu kamar mandi.
Aku sedang mandi sambil asyik bernyanyi. Dari kecil aku memang memiliki hobi menyanyi. Aku selalu menyempatkan diri untuk belajar menyanyikan lagu-lagu dari penyanyi internasional. Mimpiku adalah suatu saat bisa bernyanyi di luar negeri, seperti Anggun C. Sasmi atau Agnez Mo.
Beberapa tahun terakhir ibuku bekerja menjadi buruh cuci karena penghasilan ayahku sebagai tukang parkir tidak cukup untuk membiayai kehidupan kami sehari-hari. Selama ini, Hasanlah yang membiayai uang sekolahku. Hasan bekerja di sebuah percetakan.
Aku keluar dari kamar mandi sambil berkata kepada Hasan, “Bang, aku lagi asyik nyanyi kok diganggu sih!” Hasan pun melengos, “Kamu itu sekolah aja yang bener. Jangan ngurusin nyanyi mulu!”
Sejak dulu Hasan tidak pernah mendukung keinginanku untuk menjadi penyanyi. Katanya, aku harus fokus menyelesaikan sekolah dan tak perlu bermimpi jadi penyanyi. Padahal, aku cukup percaya diri untuk jadi penyanyi terkenal. Kata teman-teman dan guruku, suaraku sangat merdu.
Suatu hari, aku dan Hasan sedang menonton TV usai salat magrib. Televisi tersebut menampilkan iklan dari sebuah kontes menyanyi bertaraf nasional. Aku pun langsung antusias. Aku mengutarakan niatku untuk mengikuti kontes tersebut kepada kakakku, “Bang, kalo Yuzril ikutan daftar kontes itu gimana? Antarkan Yuzril ya, Bang?” Hasan langsung mendelik kepadaku, “Cil, abang itu kerja susah payah buat sekolahin kamu. Abang ingin kamu berprestasi sehingga nanti punya pekerjaan yang lebih baik dari pada abang. Kok kamu malah ingin jadi penyanyi yang masa depannya belum jelas!” Aku kaget Hasan berkata seperti itu. Teringat sebuah cerita anak jalanan yang kini sukses menjadi penyanyi terkenal yang dipuja oleh jutaan orang. Ya, anak jalanan itu adalah Justin Bieber yang dulunya mengamen di jalanan untuk membantu biaya hidup keluarganya. Semua itu tak ada yang mustahil, bukan?
Aku menangis karena Hasan tidak mendukungku. Aku juga tak punya keberanian untuk mendaftarkan diri sendiri ke kontes tersebut.
Hari demi hari berlalu, aku tahu audisi kontes menyanyi itu sudah dibuka. Tiba-tiba Hasan memberikanku sebuah amplop. “Nih, Cil! Jangan sampai mengecewakan abang, ya!” Kubuka amplop yang ternyata isinya adalah nomor urut audisi kontes menyanyi ternama yang kuinginkan. “Bang! Kok bisa?” Hasan hanya tersenyum dan menjawab, “Waktu kamu nyanyi di belakang rumah, diam-diam abang merekam kamu. Lalu abang minta tolong teman untuk mengirimkan video itu ke email pendaftaran kontes tersebut. Besok kamu harus ke tempat audisi.” Aku berkaca-kaca mendengar kata-kata Hasan. “Jangan sampai mengecewakan kami, Cil”, lanjut Hasan menyemangatiku.
Singkatnya, kini aku sudah berada di atas panggung kontes tersebut untuk beradu dengan 2 orang lainnya dalam babak 3 besar. Baru kemarin aku tahu bahwa Hasan menjual handphone-nya untuk ongkos mengantarku ikut audisi kontes ini. Kenyataan tersebut membuatku lebih semangat dan optimis untuk memenangkan kontes ini. Tak pernah aku menduga bahwa Hasan yang dulu menentang hobiku, kini ia menjadi pendukungku yang paling tulus.
Apakah Anda juga pernah mendapatkan dukungan yang begitu spesial dari orang terdekat? Cerita anak jalanan ini merupakan sebuah pengalamanku sebagai anak yang tinggal di tepi Sungai Ciliwung yang kumuh, tetapi kini berada di atas panggung megah dan disaksikan oleh jutaan orang di Indonesia. Tetaplah optimis untuk meraih mimpi dan hargailah dukungan dari orang-orang terdekatmu.