Kado Natal untuk Sinterklas
“Hohoho! Merry Christmas from Santa!” Suara itu terdengar ketika aku menekan sebuah tombol yang ada di sebuah mainan berbentuk bola kaca. Di dalam bola tersebut ada miniatur sinterklas yang sedang mengendarai kereta yang ditarik oleh beberapa ekor rusa. Mainan ini mengingatkanku kepada seseorang yang begitu spesial, seseorang yang mengajarkanku arti dari sebuah cerita cinta sejati.
Bandung, 24 Desember 2005
Mata Dewi tertuju pada kostum sinterklas yang sedang disetrika ayahnya. “Ayah, nanti ada pertunjukan?” tanya Dewi pada ayahnya. “Iya, Wi. Kali ini pertunjukan di pesta natal anak-anak muda. Sepertinya mereka anak-anak orang kaya,” jawab sang ayah sambil terus menyetrika kostum sinterklas. “Nanti Dewi ikut, ya? Bantuin ayah bawa barang,” ujar Dewi. Sang ayah menatap anak gadis satu-satunya itu dengan penuh haru. Dewi adalah anak yang baik. Ia berprestasi, selalu membantu orang tua, dan tidak pernah menuntut apa pun dari ayahnya yang hanya berprofesi sebagai badut panggilan. Jadi, tak ada alasan untuk melarang Dewi ikut. Biasanya, jika sedang libur ia selalu membantu ayahnya membawa barang saat pertunjukan.
Dengan mengendarai sepeda motor usang, sang ayah dan anaknya berangkat ke sebuah cafe di Jalan Lengkong Besar. Sesampainya di sana, Dewi tertegun melihat bangunan cafe yang mewah dan megah. Ia sampai tidak sadar ayahnya sudah mengajaknya masuk beberapa kali.
Ketika ayahnya sedang berganti kostum di kamar mandi, Dewi menunggu di dekat dapur. Ia memang biasa menunggu di dekat dapur atau sudut restoran ketika ayahnya sedang bekerja menghibur kliennya.
Malam ini ayah Dewi tampil dengan kostum sinterklas sesuai dengan perayaan yang sedang berlangsung di pesta itu. Ia masuk dan mulai berceloteh dengan riang, “Hohoho! Saya sinterklas siap untuk membawa kebahagiaan.” Ayah mengangkat kedua tangannya dan bergoyang-goyang. Dewi tersenyum sekaligus terharu melihat kegigihan ayahnya mencari uang. Ayahnya membuang rasa malunya saat menggunakan kostum yang konyol demi memperoleh uang untuk biaya sekolahnya. Betapa bangga Dewi kepada ayahnya.
Saat sedang memikirkan ayahnya, Dewi dikagetkan dengan suara gelas pecah dan sebuah suara yang keras memaki ayahnya, “Heh, Pak! Punya mata gak sih? Goyang-goyang gak jelas! Bapak ini badut atau penyanyi dangdut sih?!” Dilihat seorang wanita muda dan cantik memaki sambil menuding wajah ayahnya. Sementara ayahnya hanya menunduk sambil berulang kali mengucap maaf. Dewi langsung paham dengan situasi tersebut dan menghampiri ayahnya. Dewi pun tak luput dari amarah wanita itu. Ia dan ayahnya habis dimaki-maki dengan kasar. Malam itu, ayah dan anak tersebut pulang tanpa membawa uang sepeser pun. Bahkan, hati mereka hancur karena makian dan hinaan kasar dari wanita tadi.
Di sepanjang perjalanan pulang, sang ayah berkata dengan lembut “Nak, terkadang cobaan bisa datang dalam bentuk seperti ini, namun kita tetap tidak boleh menyerah dan harus terus berusaha.” Dewi menyeka air matanya dan tersenyum balik. Dari situ, Dewi berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah mengubah nasibnya dan membuat ayahnya bahagia.
Bandung, 24 Desember 2015
Aku terbangun karena pesawat yang kutumpangi landing. Tanpa kusadari aku tertidur selama perjalanan 24 jam lebih dari London ke Bandung. Aku memasukkan mainan berbentuk bola kaca itu ke dalam tas. Usai mengambil koperku, aku mencari taksi dan meluncur ke tempat yang kutuju.
Taksiku berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Kujejakkan kedua kakiku di tanah yang basah sehabis hujan. Seorang lelaki tua yang sedang memoles tembikar mengangkat wajahnya dan berkata, “Dewi!” Ia meletakkan gerabahnya dan tergesa-gesa menghampiriku. Betapa rindunya aku kepada ia, ayahku. Sudah 6 tahun aku tidak pernah bertemu dengannya semenjak aku berangkat ke London karena mendapatkan beasiswa untuk biaya kuliahku. Setelah lulus, aku langsung diterima di sebuah perusahaan ternama di London. Sedikit demi sedikit aku mengumpulkan uang untuk kembali ke Tanah Air.
“Ayah, Dewi kangen. Ayah nggak usah kerja lagi, ya? Ayah ikut Dewi tinggal di London,” kataku sembari terus memeluk ayah. Ayahku hanya tersenyum memandangku dan berkata “Apa kamu yakin, Nak?” Aku pun menjelaskan bahwa aku sudah mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal di London, “Ayah sudah tidak perlu khawatir lagi. Ini saatnya Dewi membalas kebaikan dan jerih payah Ayah selama ini.” Dari dulu hingga sekarang ayah tak pernah menolakku. Ia berusaha membuatku bahagia dengan cara apa pun. Kali ini pun aku tahu ia tak akan menolak permintaanku.
Sepuluh tahun lalu aku dan ayah dihina. Ayahku dihina karena menjadi sinterklas yang berusaha menghibur semua orang. Memang ia melakukan pekerjaan itu untuk mencari uang. Namun, bagiku ia adalah sinterklas yang selalu mewujudkan keinginanku. Hari ini kubawa kado untuk sinterklasku, tak akan kubiarkan sinterklasku dihina oleh siapa pun. Tak akan kubiarkan pula sinterklasku menghabiskan sisa hidupnya sendirian.
Ketika hidupmu berada di bawah, dihina, dan dicaci oleh seseorang, kau tak perlu membalas semua itu. Satu hal yang harus kau lakukan adalah berusaha mengubah hidupmu menjadi lebih baik agar hidupmu tidak lagi dihina oleh orang lain.