Cerita pendek ini berawal dari seorang anak yang jengah dengan sikap ayahnya yang temperamen dan over-protective. Ibunya adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya.
Aku membanting pintu kamar dengan kesal. Yang benar saja, masa aku tidak boleh ikut perpisahan sekolahku di Bali. Semua teman-temanku ikut, kenapa hanya aku yang tidak ikut? Pintu kamarku terbuka, ternyata mama mengikutiku hingga ke kamar. Entah kenapa ketika melihat wajah mama yang sayu tangisku pun pecah.
“Tasya, sudah, Nak. Jangan menangis, sayang,” kata mama sambil mengusap punggungku. Sambil terisak-isak aku menjawab, “Ma, Tasya udah gede. Udah delapan belas tahun. Tapi kenapa papa masih anggap Tasya anak kecil?” Mama memandangku dengan teduh dan tangannya masih mengusap punggungku dengan sayang. “Semua temanku ikut perpisahan di Bali. Kan konyol kalau cuma aku yang nggak ikut!” lanjutku.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Papa, orang yang mengacaukan segala rencanaku, masuk dengan raut wajah yang sulit kutebak. “Pa, tolong jangan marahi Tasya lagi,” pinta mama melindungiku.
Secara mengejutkan papaku duduk di tempat tidurku. Matanya menatap ke lantai. Dari bahasa tubuh papa sepertinya ia hendak menyampaikan suatu hal.
“Ijinkan papa bicara, Nak,” kata papaku dengan nada suara lembut tapi penuh wibawa. “Papa mau marahin aku lagi? Sudah cukup papa nggak ngijinin Tasya ikut perpisahan. Dari dulu Tasya selalu dikekang, mulai dari pulang tidak boleh lebih dari jam 6 sore sementara teman-teman yang lain boleh pulang hingga jam 9 malam, pergi harus diantar supir padahal yang lain sudah bawa kendaraan sendiri, terus Tasya juga dilarang punya pacar! Tasya udah delapan belas tahu, Pa,” kataku penuh emosi.
Papa bangkit dan menghampiriku. Ia memberikanku selembar foto hitam putih. Dalam foto tersebut ada foto anak laki-laki dan perempuan tersenyum sambil bergandengan. “Itu Erna, tantemu. Dia adik papa,” kata papaku. Kubiarkan ia melanjutkan kata-katanya, “Erna adik papa satu-satunya. Kami hanya selisih 2 tahun saja. Hubungan kami sangat dekat sampai suatu hari karena kecerobohannya sendiri ia meninggal karena tenggelam di kolam renang umum. Kakekmu tidak peduli dengan kebenarannya dan menyalahkan papa karena tidak bisa bertanggung jawab menjaga tantemu itu. Meninggalnya Erna adalah alasan mengapa sampai saat ini kakekmu tidak pernah mau bertemu papa.”
Kulihat papa menunduk ke bawah, tubuhnya bergetar menahan tangis. “Maafkan papa, Nak. Papa selalu mengekangmu karena tidak ingin ada hal buruk terjadi padamu. Maaf jika cara papa menjagamu salah. Kamu dan mamamu adalah harta papa yang paling berharga,” kata papaku. Aku dan mama terkejut mendengar pengakuan papa. Selama ini, mama dan papa bilang bahwa kakekku tinggal di luar negeri. Aku sendiri tidak pernah bertemu ayah dari papaku itu.
Entah mengapa hatiku hancur mendengar cerita pendek yang pilu dari masa lalu papaku itu. Aku berjalan menghampiri papaku. Aku meraih tangannya dan berkata, “Maafin Tasya juga, Pa. Selama ini Tasya mengira papa adalah ayah yang kejam, tapi..,” aku tak kuasa melanjutkan kata-kataku. Aku dan papa berpelukkan dalam waktu yang cukup lama. Kisah pedih ayahku ini mencairkan dinding es yang sejak lama menghalangi hubungan kami. Selama ini aku selalu berpikir ayahku memang kejam dalam mengatur segala hidupku, namun setelah mendengar ceritanya aku jadi menyadari niatan baik di balik semua hal yang dilakukannya. Dia hanya ingin melindungiku dari hal yang mungkin membahayakanku.
Pernahkah engkau berada di posisiku? Ketika orang tuamu melarangmu melakukan hal yang kau sukai. Percayalah bahwa mungkin ada alasan tertentu mengapa orang tua melarang kita untuk melakukan suatu hal. Cerita pendek dariku ini adalah sebuah contoh bahwa di balik kekangan dan aturan papaku, ternyata berasal dari pengalaman pahitnya akan kehilangan seseorang yang dikasihinya. Tak hanya aku menyadari niatan mulia ayahku untuk melindungiku, aku juga menyadari pentingnya komunikasi yang akhirnya membuat kami menyadari rasa kasih sayang yang kami miliki satu sama lain.