“Pak Rama, bisa membagikan sedikit cerita motivasi tentang perjalanan hidup Bapak untuk meraih kesuksesan ini?” “Dukungan dari istri tercinta yang membuat Bapak menjadi sukses ya?” “Siapa sosok wanita beruntung tersebut yang mendampingi Bapak hingga saat ini?”
Aku hanya tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang datang bertubi-tubi dari awak media tersebut. Sukses di usia 30 tahun membuatku diundang ke berbagai seminar dan acara lain untuk menjadi motivator.
Pertanyaan dari para wartawan itu sedikit menggelitik diriku. Mereka mengira istriku adalah sosok wanita hebat di balik kesuksesanku ini. Padahal, alih-alih memiliki istri, aku bahkan tak sempat untuk mencari pendamping hidup. Satu-satunya wanita hebat yang membuatku sukses adalah... “Ibu saya. Beliau adalah wanita hebat yang membuat saya bisa berada di sini dan membagikan cerita motivasi dari satu tempat ke tempat lainnya,” jawabku mantap.
Bisa kulihat raut wajah kebingungan dari para wartawan tersebut. Aku memang tak pernah membicarakan kehidupan pribadiku dengan siapa pun. Oleh karena itu, tak ada yang tahu aku belum menikah. Tak ada pula yang mengetahui bahwa ibuku adalah satu-satunya motivasiku.
“Maukah Pak Rama menceritakan tentang sosok ibu yang tampaknya begitu berjasa bagi Anda?” tanya seorang wartawan. “Asal kalian memiliki sedikit waktu lagi untuk mendengarkan saya, maka saya akan bercerita,” kataku sambil tersenyum. “Silakan, Pak. Kami punya banyak waktu untuk mendengarkan kisah wanita hebat yang ada di balik Rama Bintoro, seorang pengusaha muda yang sangat sukses,” seorang wartawan lainnya menimpali.
Dan aku pun mulai bercerita...
Hidupku sangat sulit. Ayah meninggal saat aku berusia 8 tahun. Semenjak itu, Ibu harus bekerja sebagai buruh cuci. Ia terpaksa bekerja keras untuk membiayai hidupku dan 4 orang adikku.
Situasi tidak semakin membaik. Bahkan, kondisi keluarga kami semakin miskin saat usiaku 12 tahun. Pada saat itu adalah tahun 1998. Di mana krisis moneter tak bisa dihindari. Harga kebutuhan pokok melonjak.
Utang Ibu sangat banyak, nilainya mencapai 5 juta rupiah. Pada saat itu uang senilai 5 juta sangat besar bagi kami. Hampir setiap hari rumah kami didatangi oleh rentenir. Mereka menagih dengan sangat kasar. Kata-kata mereka sangat tak pantas untuk kusebutkan di sini. Bukan cuma Ibu yang merasa terhina, aku juga. Tapi kami tak berdaya apa-apa.
Penghinaan yang datang setiap hari membuatku bertekad untuk mengubah nasib keluargaku. Aku berhenti sekolah dan bekerja di bengkel Mang Ujang. Dari belajar membetulkan mobil yang rusak, aku pun belajar untuk memodifikasi mobil. Dari bengkel kecil Mang Ujang, aku bekerja di salah satu showroom merk mobil ternama. Lagi-lagi di sini aku banyak belajar. Tak sekadar belajar tentang mesin, aku mulai belajar tentang strategi marketing showroom ini.
Jangan pikir Ibu setuju aku berhenti sekolah. Ia terus memaksaku untuk kembali sekolah. Kata beliau pendidikan itu nomor satu. Namun, aku tak bergeming. Aku ingin bekerja untuk melunasi semua utang ibuku. Lambat laun aku berhasil membantu Ibu untuk melunasi utang itu.
Aku diangkat menjadi marketing di showroom tempatku bekerja. Tak jarang aku juga menerima sambilan untuk mencarikan mobil merk lain. Keuntungan yang kudapat sangat luar biasa besar. Sampai akhirnya, aku bisa membuka showroom kecil-kecilan dari tabunganku selama ini. Dan seiring berjalannya waktu, showroom yang kubuka dulu telah menjadi besar dan memiliki beberapa cabang di kota besar.
“Kalian tahu mengapa aku bisa begini? Itu karena Ibuku. Pengorbanan beliau begitu besar, sampai menjadi buruh cuci dan berhutang hanya untuk memastikan kelima anaknya tetap bisa makan dan sekolah. Setelah renternir itu menghina ibuku, aku memastikan bahwa Ibu tak boleh menerima penghinaan untuk kedua kalinya. Aku ingin Ibuku dikenal sebagai wanita hebat, seperti saat ini,” aku pun menutup cerita motivasi hari ini. Aku bangkit meninggalkan panggung. Namun, wartawan masih mengejarku.
“Pak Rama, boleh kami mengajukan beberapa pertanyaan lagi?” Tanya salah seorang wartawan. Aku menoleh kepadanya dan tersenyum, “Bisa kamu tanyakan di pertemuan selanjutnya, ya? Saya ada janji mengantar Ibu ke dokter.”
Ya, sejak dulu dan sekarang prioritas utamaku tak pernah berubah. Ibu tetap menjadi prioritasku. Bagaimana bisa aku menomorduakan wanita hebat yang membuatku seperti sekarang ini? Tak pernah sekalipun aku melupakan pengorbanan yang dilakukan Ibuku hingga aku bisa menjadi sesukses sekarang. Aku harap Kau pun tak akan pernah melupakan jasa besar Ibu dan doa tulusnya yang selalu menyertai kita.