Cerita inspiratif yang satu ini bermula dari seorang pemuda yang sedang menikmati masa mudanya dengan penuh hura-hura, tetapi ia merasa kebebasannya tersebut terganggu oleh kedatangan kakeknya.
Aku tidak pernah menyukai eyang kakung. Beliau adalah sosok yang tegas, jarang tersenyum, dan pemarah. Sejak kecil ia tidak pernah mengajakku bercanda seperti yang dilakukan oleh kakek-kakek lain pada cucunya. Jika bertemu denganku hanya satu hal yang ia tanyakan, “Kamu juara berapa?”
Di usiaku yang menginjak 17 tahun ini, hidupku terasa sempurna. Aku biasa berkumpul dengan teman-temanku setiap malam, entah itu “belajar kelompok”, nongkrong, atau jalan-jalan di mall. Mama dan papa nampaknya sudah letih memarahiku. Tapi itu justru membuatku merasa semakin bebas.
Kebebasanku ini terganggu sejak sebulan lalu eyang datang dan tinggal di rumahku. Semenjak eyang putri meninggal sebulan lalu, mama mengajak eyang untuk tinggal bersama daripada beliau harus tinggal sendiri di desa.
Kedatangan eyang di rumah membuatku stres. Ia selalu mengawasi segala tindakanku. Bahkan, eyang selalu berjaga di ruang tamu seolah menungguku pulang. Ketika aku baru melangkah masuk ke ruang tamu, eyang langsung menyemprotku dengan omelan, “Dit, kamu tahu jam berapa sekarang?!” Aku menjawab dengan malas-malasan, “Jam sepuluh, Yang. Didit habis belajar sama temen-temen.” “Belajar apa kok setiap hari sampai larut malam? Belajar kan bisa dilakukan di rumah!” Jika sudah begitu ceramah demi ceramah akan keluar selama berjam-jam, maka lebih baik aku diam saja.
Puncak kekesalanku terhadap eyang tiba saat aku sedang mencoba untuk masuk ke klub malam. Ketika aku baru hendak melangkahkan kaki ke dalam gedung, aku mendengar suara eyang, “Didit! Sedang apa kamu di tempat seperti ini?!” Kontan aku menoleh mencari sumber suara tersebut dan betapa kagetnya aku ketika melihat eyang berdiri dengan ringkuh di belakangku. Tak lama kulihat mama dan papa nampak berlari menyusul eyang setelah mereka memarkir mobil. Apesnya aku, orang tuaku baru saja mengantar eyang kontrol ke dokter hingga larut malam dan mereka melintasi klub malam ini. Eyang yang duduk di kursi belakang ternyata melihatku dan ngotot untuk minta papa menghentikan mobil.
Eyang memarahiku di depan teman-temanku, bahkan ia tak segan memerintahkan aku dan teman-temanku pulang. Bisa bayangkan betapa malunya aku di hadapan teman-teman dan pengunjung klub malam lainnya? Aku terpaksa pulang dengan membawa kedongkolan hati.
Sepanjang perjalanan pulang eyang terus memarahiku. Mama dan papa hanya diam melihat eyang marah padaku. Bahkan, kemarahan eyang masih berlanjut hingga sesampainya di rumah. “Pak, sudah jangan marah-marah. Nanti jantung bapak kambuh,” ucap mama. Hah? Jantung? Mengapa aku baru tahu bahwa eyangku memiliki penyakit jantung? “Kaus terlalu sabar pada anakmu ini, Wi!” Kata eyang “Kau bisa sekolah di tempat yang bagus tanpa perlu belajar diam-diam seperti zaman penjajahan dulu, tapi kau sia-siakan semua itu! Kau tak perlu meninggalkan studimu untuk berjuang melawan bangsa asing yang menjajah bangsamu! Kau tak perlu menyaksikan pertumpahan darah seperti saat aku masih seusiamu dulu!” Aku tercengang, aku baru tahu bahwa eyangku pernah hidup di zaman penjajahan. Mengapa eyang tak pernah cerita? Atau aku yang tak pernah punya waktu untuk mendengarkan ceritanya?
“Sebagai pelajar kau hanya perlu menuntut ilmu, Dit. Jangan sia-siakan kesempatan dan fasilitas yang sudah disediakan oleh orang tuamu. Aku tak pernah merasakan bangku sekolah, masa mudaku kuhabiskan di medan perang. Aku tidak pernah melarangmu untuk bersenang-senang menikmati masa mudamu, tapi apa yang kau lakukan sudah terlalu melewati batas, Dit,” ucap eyangku sambil mengelus dadanya. Saat ini, aku baru tahu bahwa eyangku adalah mantan pejuang yang tidak pernah mendapat pendidikan di sekolah.
Dari cerita inspiratif yang dikisahkan eyangku ini, aku baru menyadari satu hal, jika eyangku yang tak pernah mengenyam pendidikan di sekolah saja bisa memberikan jasa begitu besar untuk kemerdekaan bangsa ini, mengapa aku yang mendapat pendidikan di tempat yang layak belum menghasilkan suatu hal yang bisa membanggakan bangsa ini? Jangankan bangsa ini, aku pun belum pernah membuat bangga kedua orang tuaku.
Aku merasa malu pada diriku sendiri. Sejak saat itu, aku selalu meluangkan waktu untuk mendengar cerita-cerita eyang. Kusadari bahwa eyang tidak seburuk yang kukira. Beliau sangat hangat dan penuh kasih meskipun memiliki sikap yang disiplin. Aku pun mulai serius belajar untuk mempersiapkan ujian nasional dan test PTN. Bahkan, aku sudah meninggalkan kebiasaanku keluar malam dan berhura-hura. Semoga cerita inspiratif dari eyangku ini bisa menjadi “cambuk” bagi kita semua yang masih menyia-nyiakan kemerdekaan yang sudah kita rasakan selama 71 tahun ini.