Siang ini hatiku sangat bahagia. Sebuah paket dari Negeri Jiran tiba di rumahku. Ya, ini adalah sebuah paket yang dikirimkan anakku, Nur, yang bekerja di Malaysia. Kubuka isi paket tersebut dengan hati berseri-seri. Isi paket tersebut adalah sebuah ponsel terbaru nan mutakhir. Sebuah surat terselip di sebelah kotak ponsel tersebut, isinya “Bu, ini ponsel dari aku dan Mas Dedy. Ibu bisa menanyakan pada tetangga tentang cara menggunakannya. Kami berharap Ibu tak perlu meminjam telepon tetangga lagi untuk menghubungi kami di luar negeri. Salam sayang, Nur.” Kedua anakku, Nur dan Dedy, ternyata mengirimiku sebuah ponsel agar mereka lebih mudah berkomunikasi denganku. Ah, senangnya hatiku
Esoknya, aku tak sabar untuk menemui Anwar, anak tetangga yang memiliki usaha counter pulsa di dekat rumahku. Anwar mengajariku cara menggunakan ponsel itu. Sering ia melontarkan kekagumannya tentang ponsel baruku itu, “Wah, ini ponsel mahal banget, Bu. Harganya bisa sampe sepuluh juta. Mbak Nur dan Mas Dedy pasti sukses disana, ya!” Aku begitu bangga mendengar kata-kata Anwar. Sudah sejak 5 tahun Dedy dan Nur merantau bekerja di Malaysia. Sejak saat itu pula keadaan ekonomi keluarga kami membaik.
Sesampainya di rumah, ponsel baru itu berdering. Aku segera mengangkatnya, “Halo, assamu’alaikum”. Di seberang sana, kudengar suara Nur menjawab, “Wa’alaikumsalam, Ibu. Bagaimana kabarnya? Sehat? Anwar tadi mengirimkan SMS pada Nur, katanya ini nomor baru Ibu”. Aku pun tidak dapat menyembunyikan kebahagiaanku, “Alhamdulillah, Ibu sehat. Nur bagaimana? Apa kabar kakakmu? Berapa nomor teleponnya? Ibu juga ingin menelepon Dedy, Nur”. Namun, tiba-tiba kudengar nada bicara Nur tergesa-gesa, “Bu maaf, Nur dipanggil bos. Nanti Nur telepon lagi dan sampaikan ke Mas Dedy untuk segera menelepon, Ibu.” Pembicaraan itu pun berakhir.
Aku sering memandangi ponsel baru, yang kata Anwar canggih. Sudah sebulan ponsel ini kuterima tapi Dedy dan Nur baru menghubungiku satu kali saja. Kusadari bahwa aku sangat merindukan suasana keluarga bahagia yang hangat, saat suamiku masih hidup dan anak-anakku masih tinggal di dekatku.
Hampir setiap hari aku pergi ke counter milik Anwar. Aku menyuruhnya untuk mengecek apakah ponsel baruku baik-baik saja. Anwar menanyakan apakah ponselku baru saja jatuh atau terkena air. Kubilang tidak. Berkali-kali Anwar mengecek ponselku dan berkata bahwa ponselku tidak rusak.
Aku mengira ponsel baruku rusak sampai pada malam hari, aku mendapat panggilan dari nomor tak dikenal. Kujawab panggilan itu dan kudengar suara Dedy, anakku, “Ibu! Bisakah Ibu membuka pintu depan rumah?” Saat aku bergegas membuka pintu, kulihat Dedy dan Nur berdiri dan tersenyum. “Dedy! Nur!”, pekikku tertahan. Kedua anakku segera memelukku dan mencium tanganku.
Ini sebuah kejutan yang benar-benar tak terduga. Sampai kutahu kedatangan anak-anakku karena secara tidak sengaja Anwar yang mengangkat telepon dari Dedy saat ia kuminta mengecek ponsel itu. Kudengar dari Dedy bahwa Anwar berkata dengan polosnya, “Eh, Mas Dedy. Ini saya Anwar. Ibu meminta saya untuk membetulkan ponsel ini. Katanya rusak, tapi nggak tuh. Tapi Ibu ngotot, kalau gak rusak kenapa dia tidak kunjung menerima telepon dari anak-anaknya”
Saat itu Dedy tersadar bahwa ia dan Nur memang membelikanku ponsel, tetapi mereka hampir tidak punya waktu untuk menghubungiku. Kedua anakku itu berinisiatif untuk memberiku kejutan dengan mengambil cuti dan pulang ke Tanah Air. Aku pun tak kuasa menahan rasa haru. Alangkah bahagianya aku melihat kedua anakku setelah sekian lama kami berpisah. Di sini, kusadari bahwa aku tak butuh ponsel baru dengan harga yang mahal. Aku sadar bahwa keluarga adalah hal yang paling penting bagiku. Yang kubutuhkan hanya waktu lebih banyak untuk berkumpul bersama keluarga bahagia ini.