Namaku Jessi dan usiaku 15 tahun. Ayahku seorang bankir dan ibuku komisaris direktur di perusahaan asuransi. Sibuk adalah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan kedua orang tuaku. Aku hampir tidak pernah bertemu dengan mereka setiap hari, meskipun kami tinggal serumah. Komunikasi melalui telepon pun jarang, mereka hanya menghubungiku sesekali jika ada waktu.
Fasilitas yang mereka berikan padaku pun tak kurang, mulai dari mobil berserta supir yang siap mengantarku kemana saja, dompet bermerk dengan uang tunai dan kartu kredit, serta hal-hal mewah lain yang belum tentu dimiliki orang lain. Beberapa temanku pun sering iri padaku ketika mereka bermain di rumahku. Mereka berkata betapa bahagianya mereka jika menjadi diriku. Andai mereka tahu perasaanku sebenarnya. Aku begitu kesepian dan rindu berkumpul dengan ayah ibu.
Menjelang libur kenaikan kelas, aku menghampiri ayah yang sedang berada di teras dan berkutat dengan tablet di tangannya. Aku membawa beberapa brosur tour and travel, “Yah, minggu depan Jessi libur. Kita ke Disneyland sama ibu, yuk!” Ia tidak menjawabku dan matanya masih tertuju pada laporan di tabletnya tersebut. Ya, jika ayah sedang memeriksa laporan keuangan bank ia memang tidak akan peduli terhadap apa pun.
Aku kesal sekali dengan sikap ayahku. Tak lama kemudian kudengar klakson mobil berbunyi dan pintu pagar rumahku terbuka. Ibuku datang! Aku berlari menyambutnya dengan membawa brosur yang tadi hendak kutunjukkan pada ayah, “Hai, Bu, selamat datang! Ibu nanti kita liburan ke Disneyland, yuk! Atau kalau Ibu sibuk, kita liburan dekat-dekat sini aja. Ke Bandung atau nonton bioskop sama ayah, gimana?” Ibuku menatapku dengan tersenyum, sambil melepas sepatunya. Ia pun menjawab, “Jessi pergi sama teman-teman saja, ya? Ibu nggak bisa libur dan kondisinya nggak memungkinkan untuk cuti. Nanti uang jajan kamu ibu tambahin buat liburan sama teman-teman”.
Bisa terbayangkan betapa kesalnya aku? Teman dan uang. Seolah kedua hal tersebut bisa menggantikan kehadiran mereka. Bukankah fungsi keluarga adalah sebagai tempat utama untuk mencurahkan segala hal dan menghabiskan waktu bersama? Itu semua tidak kudapatkan. Karena kesal, akhirnya aku menyusun rencana untuk pergi meninggalkan ayah dan ibu.
Aku pergi ke rumah nenek di Surabaya tanpa sepengetahuan ibu dan ayahku. Nenekku pun kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba itu, katanya, “Jessi! Kamu nekat sekali! Bagaimana kalau ayah ibumu kebingungan mencarimu?” Kujawab dengan santai, “Biar saja. Mungkin mereka juga tak ingat kalau punya anak”.
Hari kedua di rumah nenek, aku membantunya menyiram tanaman. Nenek sangat menyayangi dan memerhatikanku. Ketika hendak menutup kran air, sebuah taksi berhenti di depan rumah nenekku. Dua sosok yang kukenal berlari dengan wajah lelah dan sedih. Ayah dan ibuku menghampiriku dengan tergesa-gesa. Aku terpaku tak percaya dengan apa yang kulihat. Ibuku menangis sambil memelukku. Kedua orang tuaku berkali-kali mengucapkan maaf dan berkata bahwa ia tidak sanggup kehilanganku.
“Jangan pernah tinggalkan kami lagi, Jessi. Ibu dan ayah panik saat pembantu di rumah bilang kamu tidak pulang dari kemarin. Kami menghubungi semua temanmu, kerabat dan saudara. Sampai nenekmu bilang kamu baik-baik saja dan sedang tidur sambil memeluk foto keluarga kita”, kata ibuku. “Aku.. aku cuma ingin menghabiskan waktu sehari bersama ayah dan ibu”, kataku. Tangis kami bertiga pun pecah saat kami berpelukan bersama.
Di sini, aku tahu kami bertiga saling menyadari suatu hal, bahwa orang tuaku tahu betapa aku sangat rindu kepada mereka, dan aku pun tahu mereka begitu menyanyangiku dan tak bisa kehilanganku. Pernahkah kamu mengalami hal yang sama denganku? Ketika uang tidak bisa membeli kebahagiaan dan yang kamu inginkan hanya sebuah quality timebersama orang yang kamu kasihi. Uang dan materi tidak akan pernah bisa menggantikan hangatnya hubungan keluarga. Aku bersyukur orang tuaku telah menyadari betapa pentingnya keluarga di dalam hidup mereka. Keluarga adalah segalanya bagiku dan bagi kedua orang tuaku.