Entah sudah berapa belas kali malam Natal ini kulewati di gereja. Namun, jangan kira aku turut dalam suasana syahdu misa malam Natal di dalam gereja. Aku hanya berdiri di dekat gerbang gereja sambil membawa sekotak penuh berisi lilin putih. Ya, lilin-lilin ini adalah mata pencaharian tambahan yang menyambung nyawaku.
Setiap Natal aku berjualan lilin di muka sebuah gereja besar di Jakarta. Menjajakan lilin di muka gereja yang mayoritas umatnya adalah orang-orang kaya bukanlah hal mudah. Berkali-kali aku ditolak saat menawarkan lilin. Bahkan, aku juga pernah diusir oleh petugas keamanan gereja karena dianggap mengganggu. Risiko lainnya adalah kehujanan. Maklum, malam Natal yang selalu jatuh pada bulan Desember ini sudah masuk ke dalam musim hujan.
Tak selamanya aku merasakan pahit saat menjajakan lilin. Kadang ada pula “malaikat” yang berwujud manusia yang sudi untuk membeli daganganku dan memberikan tips lebih. Beberapa orang malah memberikan uang secara cuma-cuma tanpa mau menerima lilin dariku. Kau pasti berpikir aku menerimanya, bukan? Tentu saja tidak. Aku memang miskin, tapi aku tidak mau mengemis. Menerima uang secara cuma-cuma saja halnya dengan mengemis.
Malam ini adalah tanggal 24 Desember yang berarti malam Natal. Aku sudah siaga di gerbang salah satu gereja di Jakarta Pusat dari pukul 15.00. Padahal, misanya baru dimulai pukul 18.00, tapi sudah banyak umat yang datang dari pukul 15.00 untuk memperoleh tempat di dalam gereja. Kadang aku berpikir, apakah suatu saat aku bisa turut datang ke gereja sebagai umat? Bukan sebagai pedagang lilin.
Setiap tahun aku selalu rindu untuk mengikuti misa malam Natal di gereja. Tapi, aku harus menjajakan lilin untuk mencari tambahan biaya untuk sekolah si Buyung, putraku. Walaupun aku tidak pernah masuk ke dalam gereja, aku selalu berdoa di dalam hati: “Ya, Tuhan. Suatu saat aku ingin sekali mengikuti misa malam Natal, turut dalam kebahagiaan menyambut kelahiran Sang Juru Selamat. Bukankah tidak ada hal yang mustahil bagiMu?”
Ditolak itu sudah biasa. Namun, aku harus giat menawarkan lilin daganganku ini. “Lilin untuk misa! Siapa yang mau beli? Harganya murah meriah!” Begitulah kalimat yang kuucapkan untuk menjajakan daganganku.
Saat sedang menjajakan lilin, seorang wanita tua dengan pakaian yang bagus berjalan di depanku. Ia menggandeng seorang anak kecil yang kurasa adalah cucunya. Wanita itu berhenti di depanku dan berkata, “Pak, berapa harga lilinnya?” Tentu saja aku menjawab dengan ramah, “Lilinnya hanya seribu per batang, Bu. Silakan dibeli.” Wanita itu sedikit kaget mendengar jawabanku dan menimpali, “Seribu? Wah, ini murah sekali, Pak. Bagaimana kalau saya beli semua? Ada berapa lilin yang Bapak punya?”
Aku sempat terpaku mendengar kata-kata Ibu ini. Dengan sigap aku menghitung jumlah lilin yang kupunya. “Semuanya ada seratus batang, Bu” Ibu itu mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. “Mohon diterima, Pak,” Si ibu memberikan lima ratus ribu rupiah kepadaku, “Jangan dikembalikan, Pak. Anggap saja ini rejeki di malam Natal untuk bapak.”
Tak perlu menunggu lama, aku langsung mengucap syukur setelah menerima uang itu, “Puji Tuhan. Terima kasih, Tuhan” Ibu itu masih berdiri di depanku, wajahnya menatapku penuh haru. “Apa bapak umat di gereja ini?” Tanya Ibu itu kepadaku. “Bukan, Bu. Saya umat di gereja dekat rumah saya, tapi saya ingin sekali mengikuti misa Natal di sini,” jawabku terus terang. “Lho, kalau begitu tunggu apa lagi? Mari masuk, Pak. Nanti tidak kebagian tempat,” Ibu itu mengajakku dengan sangat ramah. “Tidak, Bu. Saya malu dengan pakaian seperti ini. Nanti saya dikira pengemis,” sekali lagi aku menyampaikan isi hatiku. “Pak, Tuhan tidak melihat penampilan, Tuhan melihat hati kita. Mari masuk dan duduk bersama dengan keluarga saya.”
Malam itu aku merasakan kasih dari Tuhan. Aku mendapat rezeki dan kesempatan untuk mengikuti misa malam Natal di gereja. Aku semakin percaya bahwa tak ada yang mustahil bagi Tuhan. Cerita inspiratif dariku ini semoga bisa menjadi penguat ketika kau memiliki pengharapan yang terasa mustahil di pikiran manusia. Percayalah bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin.