Suamiku adalah sosok yang rajin dan bertanggung jawab. Selama 20 tahun berumah tangga dengannya, ia selalu berusaha untuk menafkahiku dan anakku dengan berbagai pekerjaan. Sampai akhirnya 7 tahun lalu ia diterima di kantor pos kota kami untuk menjadi pengantar surat. Pekerjaan itu ia jalani hingga saat ini. Dedikasi suamiku sangat tinggi. Meskipun di jaman serba modern ini orang bisa dengan mudahnya berkirim surat elektronik (e-mail) atau chatting, tetapi ia percaya bahwa surat adalah cara berkomunikasi yang formal dan memiliki arti tersendiri.
Saat suamiku baru mengawali profesinya sebagai tukang pos, ia membuat sebuah kotak pos kecil di depan rumah kami. Setiap sore sepulang kerja ia selalu mengecek kotak pos tersebut, berharap memperoleh kiriman surat dari teman-temannya atau kerabat kami di luar kota. Namun, hasilnya selalu nihil. Suamiku tidak pernah mendapatkan surat dari siapapun walau profesinya adalah tukang pos. Ia mengantar surat, tetapi tidak pernah memperoleh surat.
Suatu hari setelah makan malam, aku dan suamiku duduk di teras untuk menikmati secangkir teh hangat. Ini merupakan cara kami menjalin komunikasi sehari-hari karena kami hanya memiliki waktu luang di malam hari. Tiba-tiba suamiku memandang kotak pos di depan rumah dan berkata, “Bu, aku kok tidak pernah dapat surat, ya? Dari teman-teman juga tidak pernah. Apa karena aku bukan orang kaya kali, ya? Makanya teman-temanku nggak ingat sama aku”. Aku berusaha membesarkan hati suamiku, “Yah si bapak.. Jaman udah modern begini, kalau mereka mau menghubungi bapak kan bisa langsung telepon”.
Suatu malam, saat aku dan kedua anakku menyiapkan makanan, suamiku berteriak dari depan rumah. “Bu, Ibu! Aku dapat surat!” Tak lama ia masuk menghampiri kami di dapur. “Wah, dari siapa, Yah?”, tanya Farah, anak bungsuku. “Entahlah. Tidak ada nama pengirimnya”, suamiku membolak-balik amplop berukuran sedang dan berwarna cokelat di tangannya. “Coba dibuka saja, Yah”, kata Jihan, putri sulungku.
Tangan suamiku langsung membuka surat tersebut perlahan-lahan. Ia begitu bersemangat mengetahui isi surat tersebut sampai-sampai ia lupa melepas sepatu dan meletakkan tasnya. Ia membacakan surat itu di depan kami, isinya:
Tukang posku yang tercinta, mungkin kau mengharapkan sepucuk surat dari sahabatmu. Namun, kami hanya bisa memberikan surat ini, surat dari istri dan anakmu yang selalu mencintaimu dan menantimu pulang setiap sore. Ini bukanlah hari ulang tahunmu, tapi aku tahu sebuah surat yang mungkin tidak berharga ini bisa mengukir senyuman di wajahmu.
Kau adalah tukang pos yang terhebat yang kami kenal. Kau tak pernah mengeluh bila harus mengantar surat di hari yang panas terik maupun hujan. Lihatlah, Yah, di dalam surat ini terselip sesuatu yang tidak mungkin ada jika bukan karenamu..
Mata suamiku berkaca-kaca kala tangannya berusaha mencari sesuatu di dalam amplop yang sama. Ya, ia membaca surat pemberitahuan bahwa anakku Jihan di terima di sebuah perguruan tinggi negeri yang ternama dengan jalur prestasi. Jihan tak mungkin bisa mencapai prestasi setinggi ini jika bukan karena jerih payahnya ayahnya.
Apakah kalian pernah membuat kejutan sederhana namun spesial untuk orang yang terkasih? Surat untuk tukang posku ini adalah suatu wujud perhatian kami kepada sosok suami dan ayah yang teramat hebat. Sebuah surat dari ibu dan anak yang mungkin tidak berharga di mata orang lain, tetapi begitu spesial di mata suami dan ayah kami. Bermula dari obrolan santai ditemani teh hangat, kami mencoba untuk memberikan kejuatan kecil dan membalas cinta suamiku untukku dan keluarga.