Pernahkah kau merasakan sedihnya di tolak rumah sakit saat ayahmu perlu berobat? Atau pernahkah kau diusir dari sebuah apotek lantaran kau tak bisa membayar biaya obat untuk ibumu? Mungkin kau tak pernah merasakannya, tapi aku pernah. Aku hendak membagikan cerita inspiratif ini untukmu. Sebuah cerita inspiratif dariku yang kuharap bisa memberi inspirasi bagi Anda yang membacanya.
“Ada surat keterangan tidak mampu, Dik?” tanya seorang perawat kepada gadis yang usianya sekitar 10 tahun. “Tidak, Sus” jawab Andini, gadis kecil itu. “Wah, maaf sekali, Dik. Kalau kamu tak punya surat keterangan tidak mampu atau asuransi, maka kamu tidak bisa berobat di sini secara cuma-cuma,” terang perawat itu dengan ketus. “Tapi ayah saya butuh berobat sekarang, Sus,” Andini masih berusaha memohon. “Cari saja rumah sakit yang mau menerima ayahmu berobat secara gratis,” kata perawat itu dengan raut wajah mengejek. “Oh, Sus, saya harus bagaimana?” tanya Andini berputus asa. Perawat itu hanya mengedikkan bahu.
Andini menghampiri ayahnya yang duduk di ruang tunggu. Melihat wajah lesu Andini, pria itu langsung tahu bahwa rumah sakit ini menolaknya berobat. “Tak apa, Andin. Bapak cuma perlu istirahat dan minum obat batuk saja,” hibur ayah Andini. “Tidak, Yah! Ayah harus segera dirawat di rumah sakit. Kalau menurut pelajaran yang Andin dapat di sekolah, penyakit ayah ini TBC!” kata Andini berkeras hati.
Beberapa bulan sejak Andini dan ayahnya ditolak rumah sakit, bendera kuning pucat terpasang di depan gang rumah Andini. Ayah Andini meninggal dunia. Menurut dokter puskesmas, memang benar bahwa ia mengidap TBC.
Tak ada lagi keluarga harmonis seperti dulu. Kini tinggal Andini dan ibunya yang masih dirundung kesedihan setelah ayahnya meninggal. Karena nelangsa yang tidak berkesudahan, ibu Andini jatuh sakit. Dokter puskesmas memeriksa ibu Andini dan memberikan resep. Dokter mengatakan bahwa resep itu harus segera ditebus.
Andini berlari ke apotek yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Di sana, ia disambut oleh petugas apotek yang ramah, “Ada yang bisa dibantu, Dik?” Andini langsung memberikan resep tersebut. 15 menit kemudian, petugas itu memanggil Andini sambil membawa obat-obatan. “Totalnya lima ratus ribu, Dik,” kata petugas itu. Andini terbelalak, di kantungnya hanya ada uang lima puluh ribu. “Kenapa?” tanya petugas itu melihat raut wajah Andini. “Mm.. uang saya nggak cukup, Mbak,” jawab Andini. Wajah ramah petugas itu langsung berubah dingin seketika. Ia merebut kembali obat yang sudah dipegang Andini. “Kalau nggak punya uang jangan beli obat di sini! Sudah sana pergi!” usir petugas apotek itu.
Lagi-lagi Andini pulang. Kali ini, ia menangis tersedu-sedu. Dua kali ia ditolak karena tidak punya uang untuk mengobati ayah dan ibunya. Apakah dunia memang sekejam ini? Apakah mereka sudah tidak memiliki rasa kemanusiaan?
Musibah seolah tak pernah bosan menimpa Andini. Kali ini, ia harus kehilangan ibu, satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Ibunya meninggal karena serangan jantung. Bisakah kau bayangkan betapa hancurnya hati Andini? Ia tidak lagi memiliki keluarga harmonis . Ia sebatang kara.
Beruntung masih ada seorang sahabat kecil ayahnya yang mau mengurus Andini. Beliau adalah Paman Usman, seorang pedagang sukses yang kaya raya. Ia jatuh hati dengan kecerdasan Andini. Anak yang rajin dan berotak encer seperti Andini harus sekolah hingga tinggi, pikir Paman Usman. Andini berhasil menyelesaikan pendidikannya tepat waktu. Ia lulus dengan gelar dokter. Pak Usman dan istrinya bersikeras membiayai Andini untuk mengambil spesialis penyakit dalam. Lagi-lagi, gadis itu berhasil lulus tepat waktu.
“Andin, setelah ini aku bisa merekomendasikanmu di rumah sakit milik temanku. Kau bisa membuka praktik di sana,” kata Paman Usman suatu malam. “Pasienmu pasti banyak, Nak. Kau akan menjadi dokter muda yang sukses,” sambung Bibi Usman. Andini tersenyum kepada pasangan suami istri yang sudah dianggapnya sebagai orang tua itu, “Paman.. Bibi.. Terima kasih atas segala kebaikan kalian pada Andini. Namun, jika boleh, Andini ingin mengabdikan diri sebagai dokter di kampung terpnecil yang mayoritas penduduknya orang kecil. Andini ingin memastikan bahwa orang-orang kecil bisa berobat,” kata Andini.
Paman dan Bibi Usman tersentuh dengan niat mulia Andini. Paman Usman berjanji akan membiayai obat-obatan yang dibutuhkan Andini untuk diberikan secara gratis pada pasiennya. Mereka baru menyadari bahwa selama ini Tuhan telah mengirim satu malaikat lagi di dunia. Dan malaikat itu bernama Andini.
Akulah Andini. Lima belas tahun semenjak ayah ibuku wafat, aku berhasil lulus menjadi seorang dokter dengan bantuan paman bibiku yang kucintai. Kemalanganku di masa kecil membuatku menyadari tujuan hidupku untuk membantu orang yang tak mampu.
Aku ingin memastikan bahwa tidak ada orang tak mampu yang mengalami nasib sepertiku dan keluargaku. Semoga cerita inspiratifini bisa membangkitkan sisi kemanusiaan dalam hati kita semua agar mau menolong sesama kita yang nasibnya kurang beruntung.
Baca juga artikel menarik ini dan artikel berikut ini.