Hai, perkenalkan namaku Dito. Aku memiliki dua saudara perempuan, Agni dan Sesha. Kami hidup dalam sebuah keluarga harmonis yang sederhana. Ayahku adalah seorang guru SMP dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Walaupun hidup kami sederhana, tapi kami sangat bahagia.
Di tengah kebahagiaan kami, musibah besar terjadi dimana ayahku dipecat dari pekerjaannya sebagai guru. Ia difitnah oleh rekan sesama gurunya. Tak habis pikirku akan teganya orang yang memfitnah ayahku. Padahal, ayah adalah guru yang baik, jujur, dan selalu setia mengabdi pada pekerjaannya. Aku dan keluargaku tahu betul bahwa ayahku tidak mungkin bisa dibayar dengan apa pun untuk menaikkan nilai siswa-siswinya.
Yang lalu biarlah berlalu. Kami sekeluarga pun sudah iklah menerima cobaan ini. Sebagai salah satu usaha menyambung hidup, ibuku memutuskan untuk membuka sebuah rumah makan di rumah kami. Kami sekeluarga mendukung 100%, karena ibuku memang pintar memasak dan masakannya pun selalu dibilang enak oleh tetangga sekitar.
“Jadi, mau kita namakan apa rumah makan ini? Tanya Agni. Sebagai anak tertua, ia mengajak kami sekeluarga berembuk membahas rumah makan ini. “Gimana kalau The Cafe?” Usul Sesha, adikku. “Ah, jangan pakai nama kebarat-baratan. Ibu kan jual masakan khas Sunda,” kata Agni. “Dito mungkin punya usul?” Tanya ayahku. “Hmm.. Bagaimana kalau Rumah Makan Cemara? Sejak dulu tetangga kan menjuluki kita sebagai Keluarga Cemara,” kataku. Di luar dugaan, seluruh anggota keluarga menyetujui usulku itu. Ya, sejak dulu para tetangga memang memanggil keluarga kami sebagai Keluarga Cemara. Mungkin karena anak di keluarga kami berjumlah 3 orang dan kami juga merupakan keluarga harmonis seperti keluarga di serial TV tersebut.
Tak mudah membuka suatu usaha baru. Kami sering kali harus menghabiskan sisa makanan yang sudah dimasak Ibu untuk hidangan rumah makan jika tidak ada pelanggan. Bahkan, kami terpaksa berhutang untuk menyambung hidup.
Suatu malam, Agni memanggilku dan Sesha ke kamarnya. Ia ingin kami bekerja sama memikirkan cara agar rumah makan kami menjadi ramai. “Dik, gimana ya caranya agar rumah makan kita ramai?” Tanya Agni. Sesha pun menjawab, “Gimana kalau kita promosikan di sosial media? Kakak kan bisa minta teman-teman untuk mempromosikan rumah makan kita di Instagram, Path, atau Facebook mereka?” Spontan aku pun menimpali Sesha, “Wah, ide bagus tuh! Bagaimana kalau kita pakai sistem endorse? Memang agak rugi sih, tapi kalau berhasil pasti bakal balik modal” Agni tampak memikirkan ide kami. Ia pun berkata, “Oke deh, kita coba besok, ya!”
Esoknya, kami mengambil foto dari menu makanan dan minuman Rumah Makan Cemara. Agni juga membungkus beberapa makanan untuk endorse ke teman-temannya. Aku dan Sesha juga berinisiatif membuat poster yang akan ditempel di tempat umum.
Tak butuh waktu lama, 2 hari kemudian rumah makan kami ramai didatangi oleh pelanggan. Rumah makan kami memang terpencil, tapi berkat ide kami Rumah Makan Cemara jadi laris. Ibu dan ayah sempat kebingungan dengan banyaknya pelanggan yang tiba-tiba datang dalam jumlah banyak ini. Bahkan, ada yang memesan makanan untuk catering. Aku sangat bersyukur akhirnya usaha kami berbuah manis. Kami sekeluarga pun menjadi lebih dekat dengan adanya Rumah Makan Cemara ini.
Aku, Agni, dan Sesha turut kewalahan membantu di rumah makan. Tapi, kami sangat senang dan tidak mengeluh sedikit pun. Apa lagi yang lebih indah dari melihat kebahagiaan di wajah orang tua kita? Dan, aku pun tidak sudi menukar indahnya rasa kekeluargaan di antara aku dan saudaraku ini dengan apa pun.
Sesulit apa pun permasalahan keluarga yang sedang kamu hadapi, semua pasti ada jalan keluarnya. Komunikasi dan tukar pikiran antar anggota keluarga adalah hal yang paling penting. Sudahkah kamu berkomunikasi dengan keluarga hari ini?