Mengenal 6 Peran dan Fungsi Keluarga

tehsariwangi

Rekomendasi Artikel

  • tehsariwangi
    Tukang Ojek yang Mengukir Cerita Cinta Sejati Untukku


    Siapa yang tak bangga dengan suamiku? Percaya tidak percaya, ia telah memperoleh gelar magister teknik mesin. Kini, ia menjadi seorang dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta. Aku pun tahu ia sedang mengumpulkan uang untuk biaya kuliah S3-nya. Ia sangat ingin meraih gelar doktor.

    Meskipun sudah 20 tahun menikah, kami belum dikaruniai buah hati. Itu tak jadi masalah, toh kami tetap bahagia hidup berdua seperti ini. Sebagai istri, aku selalu mendukung karir dan impian suamiku. Aku berusaha mencari tambahan penghasilan dengan berjualan nasi uduk di pagi hari. Sebisa mungkin aku tidak ingin merepotkan suamiku yang sedang giat menabung untuk biaya S3-nya.

    Sudah beberapa bulan terakhir aku merasakan sakit kepala yang kian hari bertambah parah. Minggu lalu aku melakukan check-up di rumah sakit terdekat. Biaya yang dibutuhkan untuk check-up tidaklah sedikit. Aku menggunakan tabunganku untuk membayar biayanya. Selain tidak ingin mengganggu usaha suamiku yang sedang menabung, aku juga tak ingin membuatnya khawatir.

    “Siang, Bu Dina. Hasil check-up nya sudah keluar, tapi saya mau menanyakan beberapa pertanyaan,” kata dr. Sarah ketika aku memasuki ruangannya. “Silakan, dok,” jawabku. “Apakah ibu sering mengalami sakit kepala disertai dengan mimisan? Atau ibu akhir-akhir ini mengalami kelelahan yang begitu hebat?”, tanya dr. Sarah. “Ya, betul, dok. Saya selalu sakit kepala dan kadang disertai mimisan. Hampir setiap hari saya merasa kelelahan,” jawabku. Kulihat dr. Sarah membaca ulang hasil check-up di tangannya dan menghela nafas, “Bu Dina, mohon maaf sekali dengan sangat menyesal saya sampaikan bahwa Ibu divonis kanker otak stadium tiga.”

    Kata-kata dr. Sarah seperti petir yang menyambarku. Aku terpaku dan dalam sekejap kehilangan kesadaran.

    Ketika terbangun, aku sudah berada di ruangan serba putih dengan aroma obat yang khas. Kulihat suamiku sedang menatapku. Ketika mata kami bertemu, ia berkata, “Dina, kamu harus sembuh. Jangan tinggalkan aku.”

    Hari-hari berikutnya, suamiku makin sering menemaniku di rumah sakit. Aku mulai curiga karena aku tahu betul jadwal mengajarnya. Ia kerap kali berada di sisiku ketika jam mengajarnya tiba. Setiap aku tanyakan tentang itu, ia selalu berusaha menghindar dan tidak menjawab.

    Pagi ini, Suster Maria datang untuk mengganti insfuku. Ia menyapaku dengan ramah dan mengatakan suatu hal yang membuatku tercengang, “Bu Dina harus semangat untuk sembuh, ya. Pak Sutanto itu cinta banget, lho, sama Bu Dina. Kemarin saya pulang ke asrama pakai jasa ojek suami Ibu. Tampaknya dia giat sekali cari uang untuk biaya pengobatan Ibu.”

    Tukang ojek? Bukankah suamiku seorang dosen? Dia dosen di perguruan tinggi ternama, tapi....

    Suamiku masuk ke kamarku, ia berusaha tersenyum meskipun wajahnya tampak letih. Ketika ia duduk, segera kutanya, “Tanto, apakah betul kamu menjadi tukang ojek?” Ia terlihat kaget saat mendengar pertanyaanku. Sempat terdiam lama, suamiku pun menjawab, “Iya, Din. Semoga kamu tidak malu dengan pekerjaanku yang baru ini.” Aku bersikukuh meminta penjelasannya, “Tapi mengapa? Bukankah pekerjaanmu sudah mapan?” Ia menggenggam tangaku dan menjawab, “Ya, menjadi dosen adalah kebanggaanku. Tapi kebanggaan terbesarku adalah bisa memiliki lebih banyak waktu untuk menyemangati istriku yang kini sedang terbaring sakit. Dengan pekerjaanku sebagai tukang ojek, aku memiliki waktu yang lebih banyak dan fleksibel untuk datang ke sini, sayang. Penghasilannya pun cukup lumayan, kok.”

    Kenyataan yang kudengar dari suamiku menumbuhkan semangatku untuk sembuh. Baru kusadari bahwa Sutanto adalah cinta sejati untukku. Ya, tukang ojek itu mengorbankan segala impiannya untuk mengukir cerita cinta sejati untukku.

    Pernahkah Anda mengalami hal yang serupa? Dimana seseorang rela mengorbankan impian, harta, dan status yang ia miliki hanya untuk bersamamu, orang yang dicintainya? Berbahagialah Anda yang berada di posisi seperti itu. Karena cerita cinta sejati merupakan hal yang paling terindah dalam hidup.

  • tehsariwangi
    Cerita Pendek: Anak Kecil dan Penjual Tahu

    “Bu, Amir berangkat ke sekolah dulu ya!” pamit seorang anak laki-laki berumur 10 tahun yang sudah mengenakan seragam SD yang terlihat usang. Bu Bagio, Ibunda Amir, menjawab, ”Iya, Mir. Hati-hati di jalan. Ini uang sakumu, Nak.” Amir menerima uang saku sebesar seribu rupiah dari ibunya. Di zaman yang serba mahal ini, uang seribu rupiah bisa digunakan untuk membeli apa? Es teh di warteg saja harganya sudah tiga ribu.
     
    Namun, Amir adalah anak yang baik dan sangat pengertian. Ia tetap menerima uang itu. Dengan uang seribu rupiah, Amir bisa membeli krupuk atau sebuah gorengan di kantin. Kadang-kadang si pemilik kantin kasihan melihat Amir dan memberinya gorengan atau kacang sebagai bonus.
     
    Walaupun hidupnya susah, Amir selalu terlihat riang dan ceria. Seperti pagi itu, ia berangkat ke sekolah dengan langkah yang riang. Ia selalu menyapa para tetangga dengan santun. Sekitar 100 meter dari sekolahnya, ia melihat seorang bapak tua yang menuntun sepedanya. Sepeda bapak itu berisi wadah yang berisi tahu. Nampaknya, ban sepeda bapak itu kempis. “Pak, ada yang bisa kubantu?” tanya Amir ketika menghampiri bapak itu. “Ini, Nak. Ban saya kempis. Jualan saya belum laku, saya tidak punya uang untuk mengisi angin di tempat tambal ban,” jawab si bapak.
     
    Amir langsung menawarkan bantuannya untuk menuntun sepeda itu ke tukang tambal ban di dekat sekolahnya. Kebetulan pemilik tambal ban itu sudah kenal dengan Amir. Ia bahkan mau mengisi angin ban sepeda penjual tahu itu secara cuma-cuma.
     
    Penjual tahu yang bernama Pak Imron itu mengucapkan terima kasih berkali-kali. Amir senang Pak Imron bisa kembali menggunakan sepeda itu untuk berdagang.
     
    Keesokan harinya, Pak Imron sengaja menunggu Amir di depan gerbang sekolah. Ketika Amir datang, Pak Imron memberikan beberapa buku cerita pendek anak yang sudah usang. “Hanya ini yang bisa saya berikan, Nak. Ini punya cucu saya. Ia meninggal karena sakit berapa tahun yang lalu,” Pak Imron menjelaskan. Amir menerima buku itu dan mengucapkan terima kasih. Amir memang gemar membaca, tapi ia tidak suka membaca cerita pendek untuk anak-anak. Ia lebih suka membaca buku tentang pengetahuan alam atau teknologi.
     
    Dua hari setelah Amir menerima buku cerita dari Pak Imron, gurunya mengumumkan bahwa esok semua murid harus membawa sebuah buku cerita pendek khusus anak-anak. Teman-teman Amir tidak mempermasalahkan tugas itu. Bagi mereka yang tidak punya, mereka dapat meminta orang tuanya untuk membelikan buku cerita tersebut. Di saat Amir kebingungan, tiba-tiba ia teringat dengan buku cerita yang diberikan oleh Pak Imron.
     
    Sesampainya di rumah, ia menemukan buku cerita dari Pak Imron itu di bawah tempat tidurnya. Amir langsung menceritakan kejadian ini pada ibunya. Mulai dari pertemuannya dengan Pak Imron, hadiah kecil dari penjual tahu yang tua itu, sampai tugas dari gurunya.
     
    Bu Bagio pun menjawab, “Tidak ada yang serba kebetulan, Mir. Semua sudah diatur oleh Allah, Nak. Barang siapa yang menanam kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan pula. Buku yang tampaknya tidak berharga bagimu, kini menjadi sangat berharga untukmu, bukan?”
     
    Dari cerita pendek anak kecil dan penjual tahu ini kita belajar mengenai dua hal. Pertama, benih kebaikan yang kita tanam, tentu akan menumbuhkan buah-buah yang baik pula. Kedua, tidak ada hal yang kebetulan di dunia ini karena semua sudah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa. Buku yang tadinya nampak tidak berharga bagi Amir akhirnya menjadi hal yang sangat penting bagi anak itu.